Ujaran Kebencian Pernah Dialami Guru Tua di Masa Hidupnya
Oleh : Ridwan Laki
Di tengah berbagai percakapan publik yang terus bergulir mengenai batas antara kritik dan ujaran kebencian, satu pertanyaan mendasar patut diajukan ulang: seberapa dalam luka yang ditinggalkan oleh kalimat yang dilontarkan tanpa tanggung jawab?
Dalam masyarakat yang menjunjung tradisi, ilmu, dan penghormatan terhadap tokoh-tokoh pengabdi, kata-kata tak ubahnya seperti mata pisau. Ia bisa membedah kebenaran, tetapi juga bisa melukai kehormatan yang dijaga berpuluh tahun.
Peristiwa yang menimpa Sayyid Idrus bin Salim Aljufri, atau yang dikenal sebagai Guru Tua, menjadi ilustrasi yang relevan untuk direnungkan. Jauh sebelum istilah “hate speech” dipopulerkan dalam wacana hukum dan media, tokoh ini telah mengalaminya secara langsung.
Dalam sebuah perjalanan dakwah pada awal tahun 1969, beberapa bulan sebelum wafatnya, Guru Tua bersama para muridnya singgah di suatu tempat. Di situlah seorang pria tak dikenal berdiri dan meneriakkan tuduhan tanpa dasar: “Guru Tua pembawa bid’ah, Alkhairaat sarang bid’ah.”
Teriakan itu bukan hanya menyerang pribadi, melainkan juga simbol, nilai, dan sistem pendidikan yang telah dibangun bertahun-tahun. Reaksi para murid pun spontan, terutama Ustadz Sofyan Lahilote, yang berdiri di garda depan untuk membela kehormatan gurunya.
Ia menyampaikan pidato pembelaan selama berjam-jam di hadapan publik, sebuah respons yang berakar dari loyalitas dan rasa hormat. Namun yang menarik bukan hanya luapan emosi para murid, melainkan respons Guru Tua yang jauh dari amarah.
Dikisahkan oleh Ustadz Mohammad Siddik Ishak Laki, Guru Tua memanggil Ustadz Sofyan dan menyampaikan dengan tenang.
“Kalau ada orang yang datang sama ente menghina saya, itu merupakan kenyataan, bahwa usaha saya menjalankan misi Alkhairaat ini sukses.” Ujar Guru Tua.
Ucapan itu, sederhana tapi penuh makna, menyiratkan sikap seorang pendidik sejati yang melihat hinaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai cermin dari dampak perjuangannya.
Namun demikian, ironi sejarah seperti ini terus berulang. Baru-baru ini, seorang tokoh publik bernama Fuad Plered kembali melontarkan ujaran yang serupa. Melalui siaran digital yang tersebar luas, ia menyebut Guru Tua dengan kalimat yang tak layak diucapkan di ruang mana pun, apalagi dalam ruang publik yang seharusnya menjunjung tanggung jawab intelektual.
Beberapa pihak telah melaporkan pernyataan tersebut ke kepolisian, dan gelombang keprihatinan meluas di berbagai kalangan, termasuk dari tokoh-tokoh lintas organisasi.
Jika penghinaan terhadap figur yang telah wafat, yang selama hidupnya mengabdi untuk pendidikan dan kemanusiaan, menjadi konsumsi harian tanpa sikap kritis dari masyarakat, maka apa yang tersisa dari penghormatan kita terhadap ilmu dan sejarah?
Lebih jauh lagi, hal ini menyisakan pertanyaan reflektif yang tidak bisa dijawab secara gegabah: apakah kita benar-benar memahami batas antara ekspresi dan provokasi? Jika semua hal dianggap wajar atas nama kebebasan, lalu di mana letak tanggung jawab kita sebagai bagian dari komunitas beradab?
Ada emosi yang mendalam yang sebetulnya tengah ditahan oleh banyak orang dalam menyikapi peristiwa ini: marah, kecewa, sekaligus bingung. Namun kemarahan tanpa arah justru menghidupkan kembali siklus yang sama—penghinaan dibalas dengan kebisingan, lalu dilupakan begitu saja.
Sebaliknya, Guru Tua menunjukkan bahwa ketenangan dan kejernihan berpikir adalah bentuk tertinggi dari jawaban terhadap ketidakadilan.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: bukan apa yang akan terjadi, tetapi apa yang akan kita pilih untuk tidak abaikan?
