Di Antara Yang Tak Terungkap: Karomah-Karomah Guru Tua yang Jarang Diketahui

waktu baca 3 menit

Oleh : Ridwan Laki.


Hari ini, Sabtu, 12 April 2025, Kota Palu kembali menjadi ruang perjumpaan spiritual dan kultural dalam peringatan Haul Guru Tua, pendiri Alkhairaat, Sayyid Idrus bin Salim Aljufri.

Ribuan orang dari berbagai penjuru datang bukan hanya untuk mengenang tokoh besar ini, tetapi juga untuk merawat jejak panjang perjuangan dan keteladanan yang ia tinggalkan. Dalam setiap haul, yang diperingati bukan sekadar wafatnya seorang tokoh, melainkan hidupnya nilai-nilai yang terus mengalir jauh setelah jasad tak lagi menyapa dunia.

Namun demikian, di balik tokoh pendidik dan ulama besar itu, tersimpan pula sisi lain yang jarang diangkat ke permukaan: karomah-karomah yang menyertai perjalanan hidupnya.

Karomah yang tidak diumumkan, tidak dijadikan bahan ceramah, dan tidak pula dideklarasikan—melainkan hanya tersaksikan oleh mata yang memang diizinkan melihatnya.

Salah satu kesaksian datang dari Ustadz Mohammad Siddik Ishak Laki, murid Guru Tua yang menyertai beliau dalam sebuah perjalanan yang dikenang sebagai Rihlah Wada, atau perjalanan perpisahan.

Di perjalanan inilah, karomah demi karomah muncul dalam bentuk kejadian-kejadian yang tidak dapat dijelaskan dengan logika biasa, tetapi juga tidak bisa begitu saja diabaikan.

Ketika rombongan melintasi daerah Tilamuta, mobil yang ditumpangi para murid mengalami kendala: sebuah baut roda copot dan menghilang. Sopir dan seluruh murid turun, menyisir area sekitar dengan penuh kesungguhan. Namun, setelah waktu berlalu dan tenaga tercurah, baut itu tak kunjung ditemukan.

Di tengah kebuntuan itulah, Guru Tua turun dari mobil, berjalan tenang ke arah semak di pinggir jalan, dan tak lama kemudian menunjuk sebuah titik. Di sanalah baut yang hilang itu berada.

Yang membuat para murid terdiam bukan hanya karena baut itu ditemukan, tetapi karena dari ujung jari telunjuk Guru Tua, tampak cahaya menyerupai sinar lampu senter yang memancar ke arah benda kecil tersebut.

Peristiwa ini bukan satu-satunya dalam perjalanan itu. Setibanya di Gorontalo, Guru Tua memerintahkan sopir agar mobil dimasukkan ke bengkel. Ia tidak ingin keajaiban menjadi pengganti ikhtiar. Prinsip kehati-hatian dan kewajiban untuk memperbaiki apa yang rusak tetap dijunjung, bahkan oleh seorang yang diyakini memiliki karomah.

Lebih jauh lagi, ketika dalam perjalanan yang sama ban mobil pecah dan kendaraan tak bisa lagi melaju, para murid bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Namun sebelum langkah perbaikan dilakukan, mobil yang sebelumnya tak bisa bergerak tiba-tiba kembali berjalan seperti semula, seolah tak pernah mengalami kerusakan.

Jika demikian, maka kisah-kisah semacam ini seharusnya tidak hanya menjadi bahan kekaguman, tetapi juga bahan perenungan. Dalam kehidupan yang kian dibanjiri oleh klaim-klaim palsu, pencitraan spiritual, dan simbolisme yang sering hampa, cerita-cerita seperti ini hadir sebagai pengingat bahwa karomah sejati tidak membutuhkan panggung. Ia hadir dalam diam, menyertai langkah mereka yang menempuh jalan dengan kesungguhan dan keikhlasan.

Fenomena karomah bukan sekadar soal keajaiban. Ia adalah bagian dari konsekuensi kedekatan seseorang dengan Tuhan, sekaligus amanah yang tidak untuk dipamerkan.

Dalam konteks Guru Tua, karomah menjadi bagian dari narasi yang melengkapi dedikasi keilmuan, perjuangan pendidikan, dan pengabdian sosial yang telah ia tunjukkan sepanjang hayat.

Maka dalam momentum haul hari ini, ketika doa-doa dilangitkan dan nama Guru Tua kembali bergema di langit Kota Palu, mungkin bukan hanya mengenang yang perlu kita lakukan. Mungkin, yang lebih penting adalah merenung: masihkah kita menjaga nilai-nilai yang beliau wariskan?

Dan di antara semua yang telah kita bangun, adakah ruang dalam hati untuk bertanya dengan jujur—bukan apa yang sudah kita warisi, tetapi bagaimana kita menjaga warisan itu tetap hidup?